Oleh; Verawati Puspita Sari
Cancel culture telah menjadi fenomena yang mendominasi diskusi publik, terutama di era media sosial. Secara umum, cancel culture merujuk pada tindakan di mana individu atau kelompok dihakimi dan “dibatalkan” secara publik karena perilaku atau pernyataan yang dianggap tidak pantas.
Meskipun terkesan sebagai bentuk kritik sosial modern, cancel culture sering kali menunjukkan ciri-ciri yang mirip dengan vigilantisme—tindakan main hakim sendiri yang dilakukan di luar sistem hukum formal.
Vigilantisme tradisional mengacu pada tindakan yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok tertentu yang merasa tidak puas dengan sistem hukum yang ada, dan mereka bertindak untuk menegakkan keadilan menurut pandangan mereka.
Dalam konteks ini, cancel culture bertindak sebagai bentuk vigilantisme digital, di mana kekuatan massa yang dimobilisasi melalui media sosial menciptakan tekanan luar biasa terhadap individu yang dianggap bersalah, tanpa memberi ruang untuk proses pembelaan atau klarifikasi.
Contoh Kasus di Indonesia: Cancel Culture yang Melampaui Batas
Di Indonesia, fenomena ini semakin marak sejak 2019, dan banyak menyerang figur publik, terutama artis. Media sosial, dengan budaya “spill” atau mengungkapkan rahasia, memperburuk intensitas serangan terhadap individu yang dianggap bersalah.
Salah satu contoh yang mencuat adalah kasus Gus Miftah, seorang tokoh agama, yang menjadi sasaran cancel culture setelah video dirinya mengolok seorang pedagang es teh viral. Dalam video tersebut, Gus Miftah menggunakan kata-kata kasar yang memicu kemarahan publik.
Meskipun Gus Miftah telah meminta maaf, tekanan publik semakin kuat, dan sebuah petisi online bahkan menuntut pencopotannya dari jabatan sebagai Utusan Khusus Presiden. Akibat tekanan ini, Gus Miftah mengundurkan diri pada 6 Desember 2024.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana masyarakat menggunakan media sosial untuk menuntut pertanggungjawaban dari figur publik yang dianggap melanggar norma sosial, namun juga menunjukkan bagaimana cancel culture sering kali melampaui batas dan berfokus pada penghukuman, bukan pemulihan. Di sisi lain, meskipun tindakan yang dianggap tidak pantas sudah diperbaiki dengan permintaan maaf, hukuman sosial yang diterima bisa jauh lebih berat daripada kesalahan itu sendiri, mengarah pada kehilangan jabatan dan reputasi.
Dampak Cancel Culture sebagai Vigilantisme Digital
1. Penghakiman Tanpa Proses Cancel culture sering kali mengabaikan prinsip dasar keadilan, yaitu memberikan ruang bagi klarifikasi dan pembelaan. Individu yang menjadi target sering kali kehilangan reputasi atau pekerjaan mereka sebelum ada pembahasan yang lebih mendalam mengenai konteks tindakan mereka. Dalam beberapa kasus, proses penghakiman begitu cepat dan tanpa pertimbangan yang matang.
2. Tekanan Sosial yang Berlebihan Seperti dalam kasus vigilante fisik, cancel culture menciptakan tekanan sosial yang luar biasa terhadap individu yang menjadi target. Selain kehilangan kesempatan profesional, mereka sering kali dihujani dengan pelecehan verbal dan ancaman yang memengaruhi kesehatan mental mereka. Ini adalah bentuk penindasan yang bisa berbahaya dan merusak kehidupan pribadi.
3. Mengaburkan Garis Moral Salah satu masalah utama dari cancel culture adalah bagaimana ia mengaburkan perbedaan antara pelanggaran kecil dan pelanggaran besar. Misalnya, komentar yang tidak disengaja atau ucapan yang diambil di luar konteks bisa diperlakukan sama dengan tindakan kriminal yang lebih berat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung untuk lebih cepat menghukum daripada memahami sepenuhnya konteks dan niat di balik suatu tindakan.
Mengarah ke Accountability Culture
Dampak negatif dari cancel culture ini menunjukkan perlunya pergeseran budaya dari sekadar penghukuman menuju budaya akuntabilitas (accountability culture). Pendekatan ini lebih berfokus pada tanggung jawab individu dan pemulihan daripada sekadar menghukum mereka yang melakukan kesalahan.
Memberikan ruang bagi individu untuk mengakui kesalahan mereka, meminta maaf, dan menunjukkan komitmen untuk berubah adalah langkah yang lebih konstruktif daripada sekadar mengucilkan mereka dari masyarakat.
Sebagai masyarakat, kita harus mengembangkan budaya yang mendorong pembelajaran dan pemahaman. Daripada langsung menghakimi, kita perlu memberikan kesempatan bagi individu untuk memperbaiki kesalahan mereka dan menunjukkan perubahan yang positif. Ini akan menciptakan iklim yang lebih sehat dan memungkinkan masyarakat untuk bergerak maju dengan lebih inklusif.
Kesimpulan
Cancel culture, meskipun berfungsi sebagai respons terhadap ketidakadilan, sering kali berpotensi menjadi bentuk vigilantisme digital yang berbahaya.
Untuk menciptakan perubahan yang lebih positif, kita perlu beralih dari budaya penghukuman menuju accountability culture, di mana individu diberikan kesempatan untuk belajar dari kesalahan mereka dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Dalam dunia yang semakin terhubung melalui media sosial, kita harus berhati-hati agar tidak terlalu cepat menghakimi tanpa mempertimbangkan semua aspek dari sebuah situasi. Membangun masyarakat yang inklusif, dan mendukung perbaikan adalah kunci untuk mengatasi dampak negatif dari cancel culture.
Penulis Mahasiswa Fikom Universitas Ciputra