Bali, Vonisnews.com – Pendidikan merupakan barometer kemajuan sebuah bangsa. Kemajuan pendidikan menjadi cermin kemajuan bangsa secara keseluruhan. Dalam konteks menuju visi Indonesia Emas 2045, pendidikan memiliki peran krusial dalam menciptakan generasi unggul yang mampu bersaing secara global.
Namun demikian, tantangan yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia masih cukup kompleks. Salah satunya adalah rendahnya skor literasi membaca dan numerasi siswa Indonesia.
Berdasarkan hasil Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia menempati peringkat 68 dari 81 negara, dengan skor matematika (379), sains (398), dan membaca (371) jauh di bawah rata-rata internasional.
Permasalahan ini tidak lepas dari kesenjangan efektivitas pembelajaran antar sekolah dan daerah. Kualitas pendidikan di perdesaan, khususnya di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), masih jauh tertinggal dibandingkan dengan di perkotaan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan fasilitas pembelajaran, akses informasi, serta kurangnya pemerataan sumber daya pendidikan.
Lebih jauh lagi, problem utama pendidikan Indonesia juga terletak pada arah kebijakan yang tidak konsisten. Pergantian menteri seringkali disertai dengan pergantian kurikulum dan kebijakan pendidikan.
Kurikulum 2013 yang belum sepenuhnya diimplementasikan, terutama di daerah 3T, kini telah digantikan oleh Kurikulum Merdeka. Banyak guru belum tuntas memahami Kurikulum 2013, kini harus beradaptasi kembali dengan kurikulum baru. Lalu, apakah Kurikulum Merdeka ini akan bertahan, atau akan berubah lagi?
Di tingkat pendidikan tinggi, paradigma Kampus Merdeka kini digeser menjadi Kampus Berdampak. Gerakan ini bertujuan mengaktualisasikan nilai-nilai Ki Hadjar Dewantara.
“Dengan ilmu kita menuju kemuliaan, dengan amal kita menuju kebajikan.” Pergeseran ini mengisyaratkan bahwa hasil penelitian perguruan tinggi harus berdampak langsung bagi masyarakat.
Namun pertanyaannya, apakah pemerintah sungguh-sungguh mengakomodasi hasil riset para ahli dari perguruan tinggi? Banyak hasil penelitian ilmuwan Indonesia justru diapresiasi dan diterapkan di luar negeri karena kurangnya dukungan dan penghargaan dari dalam negeri.
Perubahan paradigma tanpa diikuti aksi nyata hanya akan menjadi jargon. Kampus Berdampak harus benar-benar diwujudkan melalui kebijakan konkret agar hasil kajian akademisi bisa membawa perubahan bagi masyarakat Indonesia.
Sudah saatnya pendidikan Indonesia tidak lagi hanya menjadi agenda administratif, tapi menjadi gerakan nasional yang terarah, berkelanjutan, dan berdampak nyata bagi masa depan bangsa.
Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum.
Akademisi Universitas Dwijendra. (Budi)